Layaknya seorang pemuda pada umumnya. Hatinya terasa gundah, gelisah bercampur susah memikirkan pujaan hatinya. Dialah Cahyo, pemuda berumur dua puluh tahun yang duduk di bangku kuliah salah satu Universitas swasta di Solo.
Bermula di bulan November, kala pertama kali Cahyo menatap seorang gadis yang dikenalnya lewat handphone dengan nama panggilan Lis. Hatinya merasa seakan-akan terbang jauh ke cakrawala dunia ini tanpa tahu lagi kemana akan kembali. Terasa segalanya menjadi indah. Tidak disangka ternyata Lis adalah gadis yang religious. Saat itu Cahyo tidak terlalu kental dengan hal yang namanya agama, hanya teman-teman Cahyo sajalah yang sering memanggil Ustadz, karena Cahyo memiliki jenggot yang lumayan panjang.
Seiring dengan berjalanya waktu, buih-buih cinta tumbuh seolah tak bisa dihentikan. “Kapan-kapan kita ketemu lagi ya Lis”, ajak Cahyo sambil malu-malu saat meneleponnya. Lis pun mengiyakan. Cahyo dan Lis akhirnya ketemuan lagi disebuah toko buku. Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut Cahyo maupun Lis karena mungkin kondisi yang kurang kondusif.
Akhirnya Cahyo mengurungkan niatnya untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya. Waktu-waktu luang diisi Cahyo untuk belajar agama, karena Cahyo tidak mau dirinya lebih rendah ilmu agamanya dari pada Lis. Namun tak lupa Cahyo juga menanyakan kabar diakhir pekan, biasanya malam Minggu.
Bulan Juni saat liburan semester tiba, timbul keinginan Cahyo untuk menemui Lis, pujaan hatinya. Karena Lis kuliah di Klaten dan kebetulan Cahyo mendapatkan tugas untuk seminar di Bantul, Jogya selama tiga hari yaitu Sabtu, Minggu, dan Senin.
Sabtu pagi yang cerah, dimulailah perjalanan Cahyo dari Solo ke Jogya. Dalam hatinya, cahyo berpikir bahwa dirinya bagaikan menyelam sambil minum air. Dengan tubuh yang mengendalikan motor, pikirannya sekaligus merangkai kata untuk melepaskan kerinduan saat ketemu nanti.
Saat matahari mulai condong ke barat, bertolaklah Cahyo dari Jogya untuk menemui Lis yang berada di Klaten. Cahyo yang saking semangatnya bergegas untuk menelephon dan berkata, “Lis, ni aku dah berangkat, mungkin setengah jam lagi sampai di Klaten”. Setengah jam kemudian sampailah Cahyo di depan rumah sakit tempat keduanya ingin bertemu. Tapi tak ada seorang wanita pun yang berada di depan rumah sakit itu.
Cahyo tak mau menunggu lama, spontan menelepon untuk menanyakan keberadaan Lis. Namun yang terdengar bukanlah suara wanita pujaan hatinya, tetapi malah wanita operator telepon yang menginformasikan bahwa nomor yang dihubungi sedang tidak aktif.
“pusing…pusing…pusing…, kacau…kacau….!!” berkali-kali kata-kata itu keluar dari mulutnya sambil mondar-mandir. Akhirnya dengan penuh kekecewaan Cahyo pulang ke Solo. Tak tahan merasakan perihnya hati, sampai-sampai dinding hatipun tergores kalimat hari ini, hari besar kesakitan hatiku dalam kalender samaraku
Kepahitan cinta yang dialami Cahyo tidak berhenti disitu. Tiap kali sms, tak ada respon. Telepon pun juga tidak pernah diangkat, toh kalau diangkat hanya bilang sibuk karena banyak tugas. Keadaan demikian berlanjut, berlanjut, dan berlanjut sampai sekarang.
Kini di malam yang sunyi, hanya ditemani dengan kegelapan, angin yang semilir, dan udara yang dingin, “harapan tinggal harapan, sepertinya maya tapi ini benar-benar nyata. Entah engkau sekarang ada dimana, yang pasti hatiku selalu menuntut dirimu tetap didekatku.” Bisik hati Cahyo.
“Namun fakta bicara,” ungkap Cahyo sambil mengarahkan pandangannya ke langit dan seraya berdoa, “Tuhan, tegarkanlah hatiku, kuatkanlah dalam menghadapi cobaan ini, serta balikkanlah cerita duka ini menjadi cerita cinta.”
“Ya, sekali lagi fakta bicara”, ungkap Cahyo lirih sambil mengusap air mata yang membanjiri celah matanya. Apakah ini yang namanya cinta, bermula dari suka cita berakhir dengan luka lara. Kau sukar untuk kukejar meskipun tak kuasa ku menahan asa, tapi tak berani ku melukai hati namun fakta bicara, “Perjuangan tertukar dengan ketidakpastian”.
termuat disolopos-rubrik remaja-gaul
0 komentar:
Posting Komentar