Moral ataukah Akhlak
Oleh : Muchammad Anwarrudin
Mahasiswa Jurusan Tarbiyah UMS
“Saat ini kita membutuhkan sosok pemimpin yang bermoral!”. Itulah kata-kata yang cukup sering kita dengar dalam suatu pembicaraan yang bertema “kepemimpinan”, baik itu dalam seminar politik, debat politik, serta segala hal yang berbau politik. Yang kesemuanya itu mau tidak mau akan selalu bersinggungan dengan hal yang bernama kepemimpinan. Ya, karena saat ini Indonesia sedang pesta Demokrasi. Maka jangan heran jika kita mendengar orasi-orasi politik seperti di atas yang seringkali membangkitkan mimpi kita akan sosok pemimpin yang dapat membawa perubahan pada negeri ini.
Tapi seringkali kita salah mendeskripsikan sebuah arti yang dimiliki oleh sebuah kata. Misalnya saja seperti kalimat di atas yang menggunakan kata bermoral untuk menggambarkan sosok pemimpin yang ideal. Padahal kata moral ini memiliki makna yang rancu jika digunakan pada kalimat seperti di atas. Karena kata moral sendiri berasal dari bahasa Latin mores, yaitu bentuk plural dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam Ensiklopedi Pendidikan, yang dikutip Aunur Rohim Faqih, dkk. (1998:91), moral dikatakan sebagai “nilai dasar dalam masyarakat untuk menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang pada akhirnya menjadi adat istiadat masyarakat tersebut.
Dan jika membandingkan arti moral menurut Ensiklopedia Pendidikan dengan kata moral yang terdapat pada kalimat di atas kita akan mendapati makna yang kurang tepat. Yaitu pemimpin yang bermoral berarti pemimpin yang dianggap baik oleh masyarakat. Yang tentunya penilaian seperti ini akan bersifat subyektif serta tidak mempunyai ukuran yang jelas mengenai ciri pemimpin yang ideal, karena penilaian masing-masing orang akan berbeda latar belakang serta alasannya. Jadi, akan lebih baik jika kata bermoral diganti dengan berakhlak. Karena akhlak sendiri diartikan sebagai “sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa perlu pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar” (Yunahar Ilyas, 2000:2). Kata ini jauh lebih tepat digunakan karena memiliki aturan serta batasan yang jelas. Karena akhlak merupakan suatu perwujudan dari hati nurani manusia yang tentunya akan cenderung kepada kebenaran yang sebenarnya, tanpa ada pengaruh dari luar. Tidak seperti kata moral yang cenderung bersifat subyektif . Dan jika kata ini digunakan pada kalimat di atas, kita akan dapat menggambarkan mengenai ciri-ciri pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang bersikap serta bertindak sesuai dengan hati nurani manusia, karena hati nurani semua manusia pada dasarnya sama yaitu sesuai dengan kebenaran dan kejujuran.
0 komentar:
Posting Komentar